Asal usul sebutan Pasar Minggu
Sejak
dahulu hingga sekarang tempat itu merupakan pasar, yang juga terdapat terminal
bus dalam kota. Sebelum tahun 1920, lokasi Pasar Minggu berada di Kampung Lio,
pinggir Kali Ciliwung.
Zaenuddin
HM, dalam bukunya “212 Asal-Usul Djakarta Tempo Doeloe,” (377 halaman)
diterbitkan Ufuk Press pada Oktober 2012, menjelaskan kawasan itu disebut Pasar
Minggu karena kegiatan di pasar itu dahulu hanya pada hari Minggu.
Menurutnya,
pada zaman itu bangunan pasarnya terbuat dari bambu beratapkan bahan atep, yakni terbuat dari daun kelapa atau
dari bahan alang-alang.
Kegiatan di pasar tersebut meliputi
perdagangan berbagai macam kebutuhan sehari-hari dan pakaian. Selain itu juga
ada permainan judi seperti dadu koprok dan pangkalan ronggeng yang dikenal
dengan sebutan Doger.
Lokasi
Pasar Minggu pada 1920 dipindahkan ke dekat jalan, yaitu dekat rel kereta api,
dan bersebarangan dengan terminal bus.
Meskipun
kegiatannya hanya pada hari Minggun saja, dan lokasinya belum permanen, namun
sudah mulai bermunculan pedagang China yang menjual beras setiap hari
Kemudian
pada 1930, pemerintah Belanda membangun pasar dengan lantai ubin bertiang besi
dan beratap seng. Lokasinya di terminal bus dan tempat PD Pasar Jaya.
Pasar
tersebut menjual berbagai kebutuhan seharai-hari, pakaian dan juga buah-buahan.
Kegiatannya pun tidak hanya berlangsung pada hari Minggu, namun paling ramai
tetap saja pada hari Minggu.
Kemudian
pada 1931 jalan yang menghubungkan Pasar Minggu dan Manggarai diperkeras dengan
bebatuan, diaspal, sehingga pasar itu menjadi sangat ramai kendaraan.
Sejarah mencatat, pada 1960-an sampai 1980-an, kawasan
Pasar Minggu merupakan sentra buah di Jakarta. Selain pusat perdagangan buah,
kawasan ini dirimbuni berbagai jenis pohon buah. Tidak mengherankan bila Pasar
Minggu penyuplai buah di Jakarta kala itu. Tidak hanya mengandalkan pasokan
dari luar daerah.
Rokib,
50 tahun, warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menceritakan betapa buah begitu
berlimpah di Pasar Minggu, ketika itu tahun 1970-an. “Dulu Duren Tiga, Buncit,
Pejaten masih lebat dengan berbagai macam buah, tapi tiap lokasi selalu ada
yang dominan,” kata Rokib
Untuk kawasan Pejaten hingga Ragunan didominasi buah rambutan.
Pepaya dan jambu menguasai Pasar Minggu. Sedangkan Jati Padang, sangat kesohor
dengan duren montong. Pohon-pohon duren di sana berukuran besar dengan diameter
tiga lingkaran tangan orang dewasa.
Bila
musim rambutan tiba, sepanjang jalan terlihat rambutan yang berbuah begitu
lebat. Saking banyaknya, tidak perlu memanjat untuk memetik. Apalagi saat itu,
Pasar Minggu masih banyak ditempati oleh orang Betawi. “Kadang tidak perlu izin
untuk metik buah,” kata Rokib, Ketua Rukun Tetangga Pasar Minggu Lebak, RT 03
RW 08 Kelurahan Pejaten Timur, Kecamatan Pasar Minggu.
Ketika
itu Pasar Minggu memiliki berbagai jenis buah dengan jumlah puluhan ribu pohon,
mulai dari pohon pepaya, nangka, duren, sawo, atau yang ada saat itu.
Bisa dipastikan jumlah tiap satu jenis buah bisa mencapai empat puluh ribu
pohon, bahkan bisa lebih. Alhasil, Pasar Minggu kebanjiran pasokan saat musim
buah. Biasanya buah-buah itu disalurkan lagi ke pasar-pasar lain di seantero
Jakarta.
Pasar
Minggu kala itu identik dengan pasar buah-buahan. Perlahan-lahan limpahan buah
itu mulai menyusut. Apalagi sejak pendatang dari luar mulai ramai datang ke
Jakarta menjelang 1990-an. Lahan kebun digunakan warga untuk menanam buah mulai
tergusur dijadikan permukiman dan jalan raya. Kondisi Pasar Minggu berubah,
statusnya sebagai sentra buah tidak lagi seperti dulu. Meski saat ini masih ada
buah-buahan, namun dipasok dari luar Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar