Plato (427 –
347 SM) menyatakan bahwa puluhan ribu tahun lalu terjadi
berbagai letusan gunung berapi secara serentak, menimbulkan gempa,
pencairan es, dan banjir. Peristiwa itu mengakibatkan sebagian
permukaan bumi tenggelam. Bagian itulah yang disebutnya benua yang
hilang atau Atlantis.
Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis
itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan
penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent
Finally Found, The Definitifve Localization of Plato‘s Lost Civilization
(2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan
alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa
Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia,
menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir,
dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.
Konteks
Indonesia
Bukan
kebetulan ketika Indonesia pada tahun 1958, atas gagasan Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja melalui UU no. 4 Perpu tahun 1960, mencetuskan Deklarasi
Djoeanda. Isinya menyatakan bahwa negara
Indonesia dengan perairan pedalamannya merupakan kesatuan wilayah nusantara.
Fakta itu kemudian diakui oleh Konvensi Hukum Laut Internasional 1982. Merujuk
penelitian Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang lalu wilayah negara
Indonesia merupakan suatu benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam
puluhan ribu pulau seperti halnya sekarang.
Santos menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis
merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra,
Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai
pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan
dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera
Hindia dan Samudera Pasifik.
Teori Plato
menerangkan bahwa Atlantis merupakan benua yang hilang akibat letusan gunung
berapi yang secara bersamaan meletus. Pada masa itu sebagian besar bagian dunia
masih diliput oleh lapisan-lapisan es (era Pleistocene) . Dengan meletusnya
berpuluh-puluh gunung berapi secara bersamaan yang sebagian besar terletak di
wilayah Indonesia (dulu) itu, maka tenggelamlah sebagian benua dan diliput oleh
air asal dari es yang mencair. Di antaranya letusan gunung Meru di India Selatan
dan gunung Semeru/Sumeru/ Mahameru di Jawa Timur. Lalu letusan gunung berapi di
Sumatera yang membentuk Danau Toba dengan pulau Somasir, yang merupakan puncak
gunung yang meletus pada saaitu. Letusan yang paling dahsyat di kemudian hari
adalah gunung Krakatau (Krakatoa) yang memecah bagian Sumatera dan Jawa dan
lain-lainnya serta membentuk selat dataran Sunda.
Atlantis
berasal dari bahasa Sanskrit Atala, yang berarti surga atau menara peninjauan
(watch tower), Atalaia (Potugis), Atalaya (Spanyol). Plato menegaskan bahwa
wilayah Atlantis pada saat itu merupakan pusat dari peradaban dunia dalam
bentuk budaya, kekayaan alam, ilmu/teknologi, dan lain-lainnya. Plato
menetapkan bahwa letak
Atlantis itu di Samudera Atlantik sekarang. Pada masanya, ia bersikukuh bahwa
bumi ini datar dan dikelilingi oleh satu samudera (ocean) secara menyeluruh.
Ocean
berasal dari kata Sanskrit ashayana yang berarti mengelilingi secara
menyeluruh. Pendapat itu kemudian ditentang oleh ahli-ahli di kemudian hari
seperti Copernicus, Galilei-Galileo, Einstein, dan Stephen Hawking.
Santos
berbeda dengan Plato mengenai lokasi Atlantis. Ilmuwan Brazil itu
berargumentasi, bahwa pada saat terjadinya letusan berbagai gunung berapi itu,
menyebabkan lapisan es mencair dan mengalir ke samudera sehingga luasnya
bertambah. Air dan lumpur berasal dari abu gunung berapi tersebut membebani
samudera dan dasarnya, mengakibatkan tekanan luar biasa kepada kulit bumi di
dasar samudera, terutama pada pantaibenua. Tekanan ini mengakibatkan gempa.
Gempa ini diperkuat lagi oleh gunung-gunung yang meletus kemudian secara
beruntun dan menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat. Santos menamakannya
Heinrich Events.
Dalam usaha
mengemukakan pendapat mendasarkan kepada sejarah dunia, tampak Plato telah
melakukan dua kekhilafan, pertama mengenai bentuk/posisi bumi yang katanya
datar. Kedua, mengenai letak benua Atlantis yang katanya berada di Samudera
Atlantik yang ditentang oleh Santos. Penelitian militer Amerika Serikat di
wilayah Atlantik terbukti tidak berhasil menemukan bekas-bekas benua yang
hilang itu. Oleh karena itu tidaklah semena-mena ada peribahasa yang berkata,
”Amicus Plato, sed magis amica veritas.” Artinya,”Saya senang kepada Plato
tetapi saya lebih senang kepada kebenaran.”
Namun, ada
beberapa keadaan masa kini yang antara Plato dan Santos sependapat. Yakni
pertama, bahwa lokasi benua yang tenggelam itu adalah Atlantis dan oleh Santos
dipastikan sebagai wilayah Republik Indonesia. Kedua, jumlah atau panjangnya
mata rantai gunung berapi di Indonesia. Di antaranya ialah Kerinci, Talang,
Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo,
Agung, Rinjani. Sebagian dari gunung itu telah atau sedang aktif kembali.
Ketiga, soal
semburan lumpur akibat letusan gunung berapi yang abunya tercampur air laut
menjadi lumpur. Endapan lumpur di laut ini kemudian meresap ke dalam tanah di
daratan. Lumpur panas ini tercampur dengan gas-gas alam yang merupakan
impossible barrier of mud (hambatan lumpur yang tidak bisa dilalui), atau in
navigable (tidak dapat dilalui),
tidak bisa ditembus atau dimasuki. Dalam kasus di Sidoarjo, pernah dilakukan
remote sensing, penginderaan jauh, yang menunjukkan adanya sistim kanalisasi di
wilayah tersebut. Ada kemungkinan kanalisasi itu bekas penyaluran semburan
lumpur panas dari masa yang lampau.
Bahwa Indonesia
adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis, tentu harus membuat
kita bersyukur. Membuat kita tidak rendah diri di dalam pergaulan
internasional, sebab Atlantis pada masanya ialah pusat peradaban dunia. Namun
sebagai wilayah yang rawan bencana, sebagaimana telah dialami oleh Atlantis
itu, sudah saatnya kita belajar dari sejarah dan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan mutakhir untuk dapat mengatasinya. ***
Penulis,
Direktur Kehormatan International Institute of Space Law
(IISL), Paris-Prancis
Benua Atlantis &
Peradaban Awal Umat Manusia
Ada di Indonesia ?
Para peneliti AS menyatakan bahwa Atlantis is
Indonesia. Hingga kini cerita tentang benua yang hilang ‘Atlantis’ masih
terselimuti kabut misteri. Sebagian orang menganggap Atlantis cuma dongeng
belaka, meski tak kurang 5.000 buku soal Atlantis telah ditulis oleh para
pakar.
Bagi para arkeolog atau oceanografer moderen,
Atlantis tetap merupakan obyek menarik terutama soal teka-teki dimana
sebetulnya lokasi sang benua. Banyak ilmuwan menyebut benua Atlantis terletak
di Samudera Atlantik.
Sebagian arkeolog Amerika Serikat (AS) bahkan meyakini
benua Atlantis dulunya adalah sebuah pulau besar bernama Sunda Land, suatu
wilayah yang kini ditempati Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sekitar 11.600 tahun
silam, benua itu tenggelam diterjang banjir besar seiring berakhirnya zaman es.
”Para
peneliti AS ini menyatakan bahwa Atlantis is Indonesia,” kata Ketua
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jenny, Jumat
(17/6), di sela-sela rencana gelaran ‘International Symposium on The Dispersal
of Austronesian and the Ethnogeneses of the People in Indonesia Archipelago,
28-30 Juni 2005.
Kata Umar, dalam dua dekade terakhir memang diperoleh
banyak temuan penting soal penyebaran dan asal usul manusia. Salah satu temuan
penting ini adalah hipotesa adanya sebuah pulau besar sekali di Laut Cina
Selatan yang tenggelam setelah zaman es.
Hipotesa itu, kata Umar, berdasarkan pada kajian
ilmiah seiring makin mutakhirnya pengetahuan tentang arkeologimolekuler. Tema
ini, lanjutnya, bahkan akan menjadi salah satu hal yang diangkat dalam
simposium internasional di Solo, 28-30 Juni.
Menurut Umar, salah satu pulau penting yang tersisa
dari benua Atlantis — jika memang benar — adalah Pulau Natuna, Riau.
Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen
yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua.
Bangsa Austronesia diyakini memiliki tingkat
kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut
dalam mitos Plato. Ketika zaman es berakhir, yang ditandai tenggelamnya ‘benua
Atlantis’, bangsa Austronesia menyebar ke berbagai penjuru.
Mereka lalu menciptakan keragaman budaya dan bahasa
pada masyarakat lokal yang disinggahinya dalam tempo cepat yakni pada 3.500
sampai 5.000 tahun lampau. Kini rumpun Austronesia menempati separuh muka bumi.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Harry
Truman Simanjuntak, mengakui memang ada pendapat dari sebagian pakar yang
menyatakan bahwa benua Atlantis terletak di Indonesia. Namun hal itu masih debatable.
Yang jelas, terang Harry, memang benar ada sebuah
daratan besar yang dahulu kala bernama Sunda Land. Luas daratan itu kira-kira
dua kali negara India. ”Benar, daratan itu hilang. Dan kini tinggal Sumatra,
Jawa atau Kalimantan,” terang Harry. Menurut dia, sah-sah saja para ilmuwan
mengatakan bahwa wilayah yang tenggelam itu adalah benua Atlantis yang hilang,
meski itu masih menjadi perdebatan.
Dominasi
Austronesia Menurut Umar Anggara Jenny, Austronesia sebagai rumpun bahasa
merupakan sebuah fenomena besar dalam sejarah manusia. Rumpun ini memiliki
sebaran yang paling luas, mencakup lebih dari 1.200 bahasa yang tersebar dari
Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di Timur. Bahasa tersebut kini
dituturkan oleh lebih dari 300 juta orang.
”Pertanyaannya dari mana asal-usul mereka? Mengapa
sebarannya begitu meluas dan cepat yakni dalam 3500-5000 tahun yang lalu.
Bagaimana cara adaptasinya sehingga memiliki keragaman budaya yang tinggi,” tutur
Umar.
Salah satu
teori, menurut Harry Truman, mengatakan penutur bahasa Austronesia berasal dari
Sunda Land yang tenggelam di akhir zaman es. Populasi yang sudah maju,
proto-Austronesia, menyebar hingga ke Asia daratan hingga ke Mesopotamia,
mempengaruhi penduduk lokal dan mengembangkan peradaban. ”Tapi ini masih
diperdebatan